Posts filed under ‘global conspiracy’

Rio Tinto: blokade dan mogok memukul pertambangan di Kalimantan

Beberapa bulan belakangan terlihat aksi-aksi yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang langsung dilakukan masyarakat setempat dan para pekerja pertambangan untuk memprotes ketidakadilan di PT KEM milik Rio Tinto dan Kaltim Prima.

Pada bulan April dan Mei tahun ini, pertambangan emas Kelian milik Rio Tinto ditekan untuk ditutup setelah negosiasi dengan masyarakat setempat gagal. Ratusan masyarakat Dayak memblokade jalan masuk ke pertambangan, menghalangi masuknya pengiriman kapur (untuk membersihkan sampah asam) dan solar ke pertambangan melalui sungai Kelian. Blokade tersebut berlangsung selama beberapa minggu pada bulan April, Mei dan Juni, memaksa perusahaan untuk menghentikan operasi untuk pertama kalinya sejak pertambangan ini mulai beroperasi pada tahun 1992. Beberapa pemimpin masyarakat ditahan oleh polisi dan dibawa ke hilir untuk diinterogasi. Seorang pria dipenjara beberapaa minggu karena telah ‘memprakarsai blokade’ di desa Kebut.

PT Kelian Equatorial Mining, dimiliki oleh Rio Tinto (90%) dengan partner Indonesia PT Harita Jayaraya (10%), menghasilkan sekitar 13-14 ton emas per tahun. Pada minggu ketiga bulan Mei, perusahaan melaporkan kerugian produksi sebesar 700 kg.

Pada bulan Juni 1998, PT KEM menandatangani persetujuan untuk melakukan negosiasi dengan organisasi masyarakat LKMTL, menyusul permintaan masyarakat yang disampaikan pada rapat pemegang saham tahunan di London dan Melbourne. Rio Tinto dan LSM lingkungan WALHI merupakan pihak-pihak dalam persetujuan ini. Pejabat pemerintah (yang biasanya berpihak pada perusahaan) tidak diikutsertakan. Negosiasi -yang mencakup kompensasi tanah, pelanggaran hak azasi manusia oleh para pejabat karyawan pertambangan dan aparat keamanan Indonesia, polusi serta rencana penutupan pertambangan-mencapai jalan buntu pada bulan April tahun ini. Hal ini karena PT KEM menolak untuk memenuhi tuntutan masyarakat setempat atas kompensasi yang adil atas tanah yang diambil untuk operasi. Perusahaan, yang sudah menghadapi masalah ini secara tersendat-sendat selama dua tahun, kemudian mengingkari perjanjian dengan LKMTL dengan mengajak kepala daerah setempat ikut dalam rapat serta mengadakan negosiasi terpisah dengan kelompok lain yang dipimpinnya. Tidak seperti LKMTL, yang didirikan melalui rapat masyarakat yang terdiri dari 2000 orang pada bulan April 1998, tim yang didukung pemerintah ini tidak mendapat mandat dari masyarakat setempat yang mengajukan tuntutan.

Blokade akhirnya dihentikan pada bulan Juni setelah WALHI dan Rio Tinto menjadi mediator antara PT KEM dan LKMTL. Disepakati bahwa kelompok yang baru boleh ikut melakukan negosiasi, tapi hanya untuk kompensasi tanah. PT KEM lebih menyukai kelompok baru pimpinan kepala desa, yang siap untuk menerima lebih sedikit daripada LKMTL. Taktik perusahaan berhasil memecah belah masyarakat dan pada bulan Agustus LKMTL ditekan untuk menerima sejumlah kompensasi atas tanah yang diambil guna jalan masuk ke lokasi pertambangan, pelabuhan sungai di Jelemuq dan tanah yang digunakan untuk perumahan perusahaan. Rio Tinto mengumumkan negosiasi lebih lanjut akan dilakukan untuk kompensasi atas hasil bumi dan kerusakan tanah akibat erosi di daerah dekat jalan.

Ingkar janji yang lain

Pada saat dilanjutkannya negosiasi ke bidang lain – hak asasi manusia – PT KEM masih tetap mengabaikan posisi LKMTL sebagai perwakilan masyarakat dengan melakukan perencanaan bersama para pejabat daerah untuk menyelesaikan permasalahan melalui upacara adat. Pada bulan Oktober, WALHI mengeluarkan pernyataan keras mengumumkan pengunduran diri dari negosiasi dari persetujuan bulan Juni 1998 dengan landasan PT KEM dan Rio Tinto secara sengaja berusaha memecah belah masyarakat untuk kepentingannya sendiri, telah menyesatkan dan menghina LKMTL serta tidak sungguh-sungguh mempunyai komitmen atas keputusan dan semangat dari persetujuan awal .

Tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan perusahaan mencakup pelecehan seksual serta perkosaan oleh karyawan senior perusahaan terhadap wanita Dayak setempat. Isi dari sebuah laporan rahasia yang disusun sebuah tim yang terdiri dari perwakilan pegawai perusahaan serta masyarakat dan diketuai oleh seorang anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, Komnas HAM, bocor sebuah surat kabar Asutralia pada bulan Juni.

(Sumber: Jakarta Post 9, 12, 24/Mei/00 8,9/Juni/00; MinenergyNews.com 14/Ag/00; Pernyataan WALHI oleh direktur Emmy Hafild, 13/Okt/00; CAA 30/Jun/00; Australian Financial Review, 30/Jun/2000)

Penutupan Tambang

Ketika Kelian selesai ditambang tahun 2004, PT KEM akan meneruskan kegiatan pengawasan dan rehabiliitasi sampai paling sedikit tiga tahun setelah itu. Menurut direktur perusahaan John Vale, PT KEM kini berada dalam tahap kedua dari empat tahap yang ditetapkan dalam pernyataan penutupan tambang perusahaan yang dikeluarkan tahun 1998. Tahap sekarang ini, menurut Vale, menyangkut konsultasi dengan pemegang saham termasuk investor Indonesia PT Harita Jayaraya, Bank Dunia, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat setempat, dan para LSM. Tahap ketiga dan kempat mencakup aspek tehnis awal dan rincian dari penutupan pekerjaan pertambangan. Vale menyatakan pihak perusahaan akan membantu mempersiapkan angkatan kerja untuk “peralihan dari bekerja sebagai pegawai tambang ke bidang lainnya, dengan memberikan beragam jenis pelatihan.” Ia mengatakan bahwa PT KEM sudah melakukan sebuah survei untuk mengetahui jenis pelatihan apa yang diinginkan dan yang akan berguna bagi para pegawai tersebut.

JATAM, LSM advokasi pertambangan yang paling terkemuka, meperingatkan pemerintah untuk menolak rencana penutupan tersebut, dengan alasan tiga tahun tidaklah cukup. JATAM menyatakan periode pengawasan dan rehabilitasi harusnya dua kali lebih lama dibanding jangka waktu produksi tambang. Mereka menginginkan agar PT KEM menutup lubang penggalian tambang, mengembalikan gundukan tanah ke posisi semula, dan merehabilitasi lokasi penampungan sampah buangan. Perusahaan juga harus memberikan alternatif program perekonomian untuk masyarakat yang tinggal di daerah tambang – dan ini sudah harus dimulai empat tahun sebelum penutupan. JATAM menyatakan bahwa tindakan-tindakan ini adalah kriteria standar dalam praktek penutupan tambang dan menyatakan tidak ada alasan bagi Rio Tinto untuk tidak menjalankannya.
(MinenergyNews.Com 28 & 29/Sep/00)
Perkataan dan Perbuatan

Bulan-bulan yang penuh dengan goncangan akibat pemogokan, blokade dan terungkpanya rahasia pelecehan seksual tidak mengehentikan Rio Tinto dalam meneruskan usahanya untuk menampilkan citra yang penuh perhatian. Pada bulan juli, Direktur Perusahaan di Indonesia, Noke Kiroyan, berbicara di Konperensi Tingkat Tinggi Investasi Pertambangan dan Energi di Jakarta, tentang komitmen Rio Tinto untuk meningkat hubungan dengan masyarakat. “Sudah tiba saatnya untuk lebih fleksibel, dan membiarkan suara rakyat kecil terdengar, untuk menjadi lebih demokratis dan lebih adil,” katanya memperingatkan perusahaan untuk ‘melakukan perubahan’. Dengan mengutip pernyataan Kepala Ekonomi Rio Tinto, David Humphreys, ia mengatakan bahwa peningkatan hubungan dengan masyarakat secara ekonomis berguna bagi perusahaan tambang. Dengan merujuk kembali tahun-tahun ‘lingkungan kerja yang menguntungkan’ pada masa Soeharto, ia mengatakan : “Sebagai sektor yang menikmati keuntungan begitu besarnya selama 30 tahun terakhir, bukanlah hanya tanggung jawab kita, tapi juga merupakan tugas kita sebagai pertambangan terbesar di Indonesia saat ini untuk ikut berperan dan membawa perubahan ke dalam tanggung jawag perindustrian kita, secara adil dan etis.” Jakarta Post 17/Jul/00)

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Rio Tinto lebih tertarik pada peningkatan reputasi internasional mereka daripada berhubugan dengan masyarakat Kelian secara adil, atau memusatkan perhatian pada masalah besar lingkungan di KPC dan Grasberg.


Mogok KPC

Perusahaan tambang milik Rio Tinto, Kaltim Prima Coal (PT KPC), juga di Kalimantan Timur, adalah tempat terjadinya sengketa buruh yang berkepanjangan sejak Juni hingga Agustus. Sekitar 250 buruh dari SBSI menduduki sebagian dari lokasi pertambangan untuk medesak tuntutan atas kenaikan gaji dan perbaikan tunjangan. Negosoasi untuk mengakhiri pemogokan gagal pada Bulan Juli ketika Rio Tinto menolak untuk menjamin buruh yang ikut pemogokan tidak akan dipecat. Pemogokan tersebut mengakibatkan penutupan total tambang dan pengangkutan batubara ke pelabuhan. Menurut perusahaan kerugian mencapai $58 juta.

Pemogokan akhirnya berakhir pada pertengahan Bulan Agustus ketika KPC, yang mempekerjakan 2600 buruh, memberikan jaminan tidak tertulis bahwa pegawai yang ikut pemogokan tidak akan dipecat. Pihak kepolisian juga mengancam akan membubarkan para pemogok dengan peluru karet. Dalam laporan pers yang lain, KPC mengatakan para buruh setuju untuk menerima hukuman disipliner. Polisi menahan paling tidak satu orang yang dianggap sebagia ‘provokator’ dibalik pemogokan. MinenergyNews.Com 14/Ag/00; Jakarta Post 19/Ag/00)

Pertambangan ini, yang merupakan penghasil batubara terbesar di Indonesia berada dalam pengawasan ketat tahun ini karena KPC sudah saatnya harus menjual sejumlah besar saham perusahaan pada akhir tahun 2000, sesuai kontrak dengan pemerintah Indonesia. Saat ini perusahaan dimiliki Rio Tinto (50%) dan perusahaan gabungan dari Amerika Serikat – Inggris ; Amoco-BP (sekarang bernama Beyond Petroleum) (50%). Pemerintah Tingkat Propinsi Kalimantan Timur sedang berusaha untuk menguasai bagian saham perusahaan, dan sekarang sedang berdebat dengan perusahaan dan pemerintah pusat mengenai banyaknya bagian saham yang tersedia. Rio Tinto dan Amoco-BP dilaporkan tidak setuju atas gerakan ini, dan lebih cenderung menjual kepemilikan dalam jumlah kecil ke beberapa investor yang berbeda agar tetap dapat mengendalikan perusahaan.

KPC memulai produksi komersialnya di pertambangan batubara Sangatta pada tahun 1992 dan kontrak selama 30 tahun tersebut berakhir pada tahun 2021. Saat ini perusahaan melakukan kontrak dengan 31 klien dari berbagai negara Asia, Eropa dan Amerika Serikat. Diantara pelanggan dalam negeri adalah PT Freeport Indonesia (sebagian dimiliki oleh Rio Tinto).

Keterlibatan Rio Tinto dalam menyusun hukum Indonesia

“Mestikah sebuah kelompok hak asasi Australia yang “bekerja sama” dengan salah satu perusahaan tambang terebsar di dunia terlibat dalam membantu penyusunan undang-undang lingkungan, hak asasi manusia, dan peraturan perusahaan?” Dalam tulisan di The Jakarta Post, Bob Burton, dari organisasi Lembaga Kebijakan Tambang yang berpusat di Sidney menjelaskan bagaimana Rio Tinto memberikan A$ 50.000 kepada sebuah kelompok pembela hak-hak azasi manusia yang terkemuka, Australian Legal Resources International (ALRI), untuk sebuah proyek yang bertujuan memberikan bantuan dalam “penyusunan undang-undang dan reformasi hukum serta pengadilan.” Sebagian dari proyek itu mencakup penyusunan undang-undang lingkungan, hak asasi manusia, undang-undang dasar, kebangkrutan dan hukum perusahaan. Dana tambahan diperoleh dari lembaga bantuan pemerintah Australia, AUSAID. Burton menggambarkan bagaimana ketua ALRI (yang juga anggota eksekutif dari kelompok pemayung hak asasi manusia dan bantuan masyarakat Australia, ACFOA) merupakan orang nomor dua dalam bagian hubungan masyarakat tahun lalu. ALRI mengatakan tidak ada potensi konflik kepentingan, namun ACFOA memutuskan akan lebih baik jika orang bersangkutan mundur dari orang kedua, yang kemudian menjadi pekerjaan tetap. “Seluruh proyek menimbulkan pertanyaan yang menganggu tentang tidak jelasnya peran pemerintah, perusahaan, dan ornop yang bertujuan baik,” kata Burton. Hal itu mengangkat keprihatinan mengenai apakah proyek yang dilakukan LSM itu dan saran yang mereka berikan “benar-benar mandiri atau sudah dibentuk oleh kepentingan sponsor.”
(Jakarta Post 25/Jul/00. Situs MPI di http://www.mpi.org.au)

Main kartu nasionalis

Selama pemogokan , baik KPC maupun pemerintah pusat mengungkapkan frustasi dan keprihatinan atas kurangnya tindakan polisi terahdap para buruh. Setelah pada awalnya menyatakan pemogokan adalah masalah dalam perusahaan dan tidak ada hubungannya dengan pemerintah pusat, direktur jenderal pertambangan dan energi Surna Tjaha Djajadiningrat kemudian meminta Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk mengambil tindakan keras atas para pelaku pomogokan. Hal ini terjadi pada bulan yang bersamaan dengan pernyataan Presiden Wahid bahwa ia akan memerintahkan penggunaan kekuatan untuk mengamankan pertambangan. (Lihat juga DTE 46:11)

Pemogokan di KPC dan blokade di PT KEM lalu digunakan oleh Menteri Pertambangan Susilo Bambang Yudhoyono (sekarang Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan) sebagai bukti adanya “gerakan anti-pertambangan ” yang menghasut “sengketa lama” secara “terencana dan teratur”. Kepala Asosiasi Pertambangan Indonesia, Paul Coutrier, memainkan kartu nasionalis dengan cara lain yaitu dengan menuduh bahwa mungkin pesaing Indonesia yang berada di balik masalah ini. Seperti yang dinyatakan oleh Noke Kiroyan dari Rio Tinto, pembeli akan melihat ke Australia (dimana perusahaan juga melakukan usaha tambang batubara yang bermasalah) sebagai sumber batubara allternatif -karena pertambangan lain di Indonesia memasok batubara dengan kualitas yang berbeda.

Australia memiliki hubungan yang tidak mesra dengan Jakarta sejak mengirim pasukannya ke Timor Timur sebagai bagian dari pasukan Interfet PBB.

Down to Earth Nr. 47, November 2000

(Sumber: Jakarta Post 1/Mei/00; 27/Jun/00; 6,11, 21,22,24& 27/Jul/00; 9,18,19/Ag/00; Kaltim Pos 30/Jun/00)

November 5, 2007 at 3:04 am Leave a comment

Terkait Royalti Batu Bara, Dirjen Pajak Segera Revisi PP 144

Bisnis Indonesia, 04-Mei-2005

Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Departemen Keuangan Hadi Purnomo mengatakan, pihaknya akan segera merevisi PP No.144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini menyusul adanya kajian tim teknis atas PP tersebut dari Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), pada akhir Januari 2005.

Kajian tim teknis itu merekomendasikan agar PP tersebut segera direvisi oleh pemerintah, dalam hal ini Dirjen Pajak berkaitan dengan penahan royalti batu bara oleh perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan dan Pertambangan Batu bara (PKP2B) maupun Kuasa Pertambangan (KP) yang keberatan atas pengenaan pajak tersebut. Penahanan royalti itu pada akhirnya memang mengurangi jatah penerimaan kas negara dari sektor batu bara.

“Target waktu memang tidak bisa ditentukan, tapi diupayakan dalam waktu dekat. Saat ini tengah dikaji dan pelajari semua aspek dari PP itu, termasuk aspek hukum, politik, dan kaitannya dengan besaran penerimaan negara dengan direvisinya PP itu,” kata Hadi Purnomo, menjawab pertanyaan Investor Daily, usai menghadiri rapat di Gedung DESDM, Jakarta, Senin (2/5).

Kasubdit Produksi dan Pemasaran Direktorat Pengusahaan Mineral Batu Bara Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral Bambang Hartoyo, mengatakan, direvisinya PP itu akan berpengaruh terhadap membaiknya penerimaan negara bukan pajak atau royalty.

“Mereka (perusahaan batu bara, red) tidak lagi terganggu cash-flow nya karena bisa merestitusi pajak keluarannya. Jika harga batu bara semakin bagus, tentu penerimaan royalti pemerintah akan kembali sesuai target,” katanya.

Bambang mengatakan, semenjak diterbitkannya PP tersebut, penerimaan negara sepanjang 2001-2004 menjadi tidak sesuai target, akibat pemotongan royalti yang dilakukan oleh para pengusaha batu bara. Bambang mengatakan, sepanjang 2004 target penerimaan royalti dari sektor batu bara hanya terealisasi 95%, sementara untuk 2003 justru hanya 66%.

“Meningkatnya penerimaan royalti 2004 tak lain dari membaiknya harga batu bara yang pada akhirnya memperbaiki cash flow pengusaha batu bara dan memperbesar royalti yang harus dibayarkannya,” katanya.

Bambang mengatakan, dengan direvisinya PP itu oleh Dirjen Pajak, akan diikuti perubahan asumsi bahwa batu bara merupakan barang yang tidak punya nilai tambah sehingga tidak perlu dikenai pajak, menjadi barang yang harus dikenakan pajak.

“Setelah menemukan mekanisme tersebut, barulah kami akan pecahkan soal bagaimana agar royalti yang tertahan sejak 2001 tersebut bisa dikembalikan kepada negara,” ujar Bambang. (c51)

November 1, 2007 at 8:47 am Leave a comment

Batu Bara Diusulkan Bebas Pajak

Kompas, 24 Oktober 2007

Pemerintah mengusulkan pembebasan PPN khusus barang primer untuk batu bara karena selama ini batu bara dinilai menjadi sumber kekisruhan dalam industri pertambangan.

Usulan tersebut dimasukkan ke dalam daftar inventaris masalah (DIM) dalam Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No 18/2000 tentang PPN.

“UU PPN-nya diamandemen. Ini kami usulkan supaya batu bara itu bukan barang kena pajak sehingga PPN-nya tidak kena,” ujar Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta, Selasa (23/10), sesudah menghadiri rapat koordinasi dengan Menko Perekonomian Boediono tentang pengembangan Pelabuhan Batu Ampar, Batam.

Menurut Darmin, pembebasan PPN itu hanya diberikan untuk batu bara yang benar-benar baru diambil dari sumbernya, yakni di pertambangan. Dengan demikian, batu bara yang sudah diolah akan tetap dikenakan PPN. Hanya batu baranya yang dibebaskan, jangan diolah lagi lebih jauh, kalau diolah lagi maka akan terkena PPN.

“Alasan pembebasan ini adalah karena selama ini selalu diributkan terus. Selalu terjadi perbedaan pendapat dan kebingungan. Dulu batu bara bukan barang kena pajak, kemudian UU yang lain menyatakan terkena pajak,” katanya.

Sebelumnya, ada enam perusahaan tambang batu bara yang menunggak pembayaran dana hasil produksi batu bara (DHPB) pada kurun waktu 2001-2005 sebesar Rp 3,92 triliun. Keenam perusahaan itu adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Adaro, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, PT Arutmin Indonesia, dan PT BHP Kendilo Coal. (OIN/kmps)

November 1, 2007 at 8:45 am Leave a comment

www.bpk.go.id

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah salah satu unsur penerimaan negara yang masuk dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan merupakan seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

BPK-RI telah melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yaitu pemeriksaan atas pengelolaan PNBP pada Departemen Energi dann Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk periode tahun 2005-2006. Anggaran dan realisasi PNBP pada Departemen ESDM untuk periode tahun 2005-2006 adalah sebagai berikut:

(dalam juta rupiah)

Tahun

Nilai PNBP

Prosentase realisasi terhadap anggaran

Anggaran

Realisasi

Tahun 2005

4.181.519,04

4.559.038,60

109,03%

Tahun 2006

5.588.781,07

4.223.368,49 *

75,57%

Pemeriksaan ditujukan untuk menilai apakah Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan PNBP di Departemen ESDM telah dirancang secara memadai dan dilaksanakan konsisten, dan apakah PNBP yang diterima telah berdasarkan penetapan dan perhitungan serta telah disetorkan, ditatausahakan, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Sasaran pemeriksaan diarahkan pada keandalan Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan PNBP, ketertiban penatausahaan dan penyetoran ke kas negara, ketepatan pemungutan dan kewajaran perhitungan tarif PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan ketertiban pelaporan dan pertanggungjawabannya.

Berdasarkan hasil penelaahan SPI atas pengelolaan PNBP pada Departemen ESDM, diketahui bahwa SPI tersebut dirancang dan atau dilaksanakan belum secara memadai.

Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan;
    2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
    3. Rencana Kegiatan Pemeriksaan BPK-RI (Revisi) Semester II TA 2006.

      1. Entitas yang diperiksa adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT Kaltim Prima Coal.
        2. Jenis-jenis PNBP pada entitas yang diperiksa:

      2. a. Landrent/Iuran Tetap;
        b. Royalti/Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)
        3. Dasar hukum penetapan PNBP
        a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
        b. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
        c. Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005.
        4. Anggaran dan realisasi PNBP pada PT KPC untuk periode tahun 2005-2006 adalah sebagai berikut:

    1. E. Jangka Waktu Pemeriksaan

      Pemeriksaan dilaksanakan mulai tanggal 4 september dan berakhir pada tanggal 23 September 2006.

      F. Obyek Pemeriksaanan

      1. Entitas yang diperiksa adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT Kaltim Prima Coal.

      2. Jenis-jenis PNBP pada entitas yang diperiksa:

      a. Landrent/Iuran Tetap;
      b. Royalti/Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB)

      3. Dasar hukum penetapan PNBP

      a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
      b. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
      c. Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005.

      4. Anggaran dan realisasi PNBP pada PT KPC untuk periode tahun 2005-2006 adalah sebagai berikut:

      (dalam ribu USD)

      No

      Jenis Penerimaan

      Realisasi Penerimaan

      A

      TA 2005

      1

      Iuran Tetap PKP2B

      90.96

      2

      DHPB

      153,013.92

      Total 2005

      153,104.88

      B

      TA 2006 (s.d Juni 2006)

      1

      Iuran Tetap PKP2B

      45.48

      2

      DHPB

      77,110.19

      Total 2005

      77,155.67

  1. 1. Royalti atas penjualan batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC) TA 2005 dan 2006 (semester I) kurang pungut sebesar USD13,844.53 ribu, sehingga Pemerintah kurang menerima royalti dari PT KPC. Hal tersebut disebabkan PT KPC terlambat melakukan rekonsiliasi penghitungan royalti dengan Indocoal Resources yang menggunakan harga jual ke pembeli akhir sebagai dasar penghitungan royalti, dan pengawasan dari Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi belum optimal.

    2. Royalti dan denda keterlambatan Tahun 2005 dan Semester I 2006 kurang bayar sebesar USD23,121.29 ribu, sehingga Pemerintah kurang menerima royalti dan denda dari PT KPC senilai tersebut. Hal tersebut disebabkan PT KPC lalai menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah berupa pembayaran royalti dan denda.

    3. Royalti atas penggunaan langsung batubara Tahun 2005 dan Semester I 2006 tidak dipungut, sehingga Pemerintah kurang menerima royalti dari PT Kaltim Prima Coal sebesar USD173.15 ribu. Hal tersebut disebabkan PKP2B tidak mengatur mengenai pemakaian batubara untuk kepentingan sendiri, sehingga PT Kaltim Prima Coal mengikuti kebijakan yang telah disepakati bersama dengan Pemerintah yang diwakili oleh Perum Tambang Batubara dalam Minute of Meeting tanggal 11 April 1990 tentang tatacara perhitungan royalti yang menyebutkan bahwa hak Pemerintah adalah 13,5% dari shipment batubara. Berkaitan dengan permasalahan di atas, BPK-RI menyarankan kepada Menteri ESDM untuk mengambil langkah-langkah perbaikan dan tindak lanjutnya sebagaimana terinci dalam laporan ini.

    BADAN PEMERIKSA KEUANGAN – RI

    Penanggung Jawab Pemeriksaan,

    Drs. Soekoyo

    NIP 240000742

    HASIL PEMERIKSAAN

    I. Gambaran Umum Pemeriksaan

    A. Dasar Hukum Pemeriksaan

    B. Tujuan Pemeriksaan

    Pemeriksaan atas pengelolaan PNBP bertujuan untuk menilai apakah:

    1. Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan PNBP telah dirancang secara memadai dan dilaksanakan konsisten

    2. PNBP yang dikelolanya telah ditatausahakan, dilaporkan, dan dipertanggungjawabkan secara tertib dan memadai

    3. PNBP yang diterimanya telah ditetapkan dan diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    4. PNBP yang diterimanya telah disetor seluruhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    C. Sasaran Pemeriksaan

    Sasaran pemeriksaan atas pengelolaan PNBP TA 2005 dan TA 2006 adalah:

    1. Keandalan Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan PNBP

    2. Ketertiban penatausahaan dan penyetoran ke kas negara

    3. Ketepatan pemungutan dan kewajaran perhitungan tarif PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku

    4. Ketertiban pelaporan dan pertanggungjawabannya

    D. Metode Pemeriksaan
    Metode yang diterapkan dalam melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan PNBP adalah pendekatan resiko serta mempertimbangkan materialitas. Pendekatan resiko didasarkan pada pemahaman dan pengujian atas efektivitas SPI, antara lain terhadap cara pencatatan dan pengeluaran uang maupun pelaporannya. Hasil pemahaman dan pengujian atas SPI tersebut akan menentukan tingkat keandalan SPI, sesuai asersi manajemen dan ketentuan yang berlaku. Pengujian terhadap pelaksanaan pengendalian terbatas pada angka-angka yang disajikan untuk dapat mengumpulkan bukti-bukti yangmendukung kesimpulan pemeriksaan. Dalam pemeriksaan ini dilakukan pengujian substantif atas transaksi keuangan secara terbatas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melakukan pengujian secara uji-petik atas unit-unit dalam populasi yang akan diuji. Kesimpulan pemeriksaan akan diperoleh berdasarkan hasil uji-petik yang dijadikan dasar untuk menggambarkan kondisi dari populasinya.

II. Gambaran Umum Sistem Pengendalian Intern

Hasil pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas penyusunan, penyajian dan pertanggungjawaban keuangan serta pelaksanaan kegiatan operasional PNBP adalah sebagai berikut:

A Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

1. Organisasi dan Personalia

Pengelolaan dan pertanggungjawaban PNBP di lingkungan Dep. ESDM dilaksanakan oleh Biro Keuangan sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Menteri No. 1915 Tahun 2001 tanggal 23 Juli 2001 dan telah diubah dengan SK Menteri No. 0030 Tahun 2005 tanggal 20 Juli 2005 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Pelaksanaan pengawasan kegiatan pertambangan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi yang bertanggung jawab untuk memonitor kegiatan dimaksud. Pada Tahun Anggaran 2005 dan 2006 kegiatan pengawasan terhadap 46 perusahaan Kontrak Karya (KK), 80 perusahaan PKP2B, dan 425 perusahaan Kuasa Pertambangan dilaksanakan oleh 33 orang pegawai terdiri dari 16 orang staf Subdit Produksi dan Pemasaran pada Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Batubara dan 17 orang staf Subdit Penerimaan Negara pada Direktorat Pembinaan Program Mineral dan Batubara dan Panas Bumi.

Susunan organisasi telah memisahkan fungsi pencatatan, penghitungan, dan verifikasi serta telah adanya pembagian tugas dan tidak terdapat perangkapan jabatan yang melemahkan pengendalian.

2. Kebijakan

Dalam Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Pertambangan Batubara (PKP2B) ditetapkan kewajiban perusahaan/kontraktor kepada Pemerintah diantaranya berupa pembayaran iuran tetap (deadrent) dan iuran produksi (royalty). Perhitungan iuran tetap didasarkan pada luas wilayah yang dikuasai perusahaan dikalikan tarif yang telah ditentukan, sedangkan iuran produksi (royalty) dari perusahaan PKP2B ditetapkan 13,5% dari total produksi per tahun secara in kind (batubara). Melalui Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara antara Perusahaan dengan Pemerintah, Pemerintah menunjuk perusahaan untuk menjualkan batubara bagian pemerintah, sehingga royalti yang dibayarkan perusahaan adalah penjualan batubara bagian pemerintah dikurangi dengan proporsi pengeluaran bersama yang diperkenankan dalam kontrak.

Pembayaran hasil penjualan bagian Pemerintah oleh perusahaan dilakukan per triwulanan dan perusahaan diwajibkan menyetor hasilnya langsung ke Kas Negara. Apabila terjadi keterlambatan dalam penyetoran hasil penjualan, maka perusahaan dikenakan denda 2 % per bulan untuk mata uang Rupiah dan 1% per bulan untuk mata uang USD. Apabila diketahui terjadi keterlambatan atas penyetoran hasil penjualan oleh perusahaan, maka Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Batubara, Ditjen Minerbapabum akan mengirimkan pemberitahuan atau surat teguran kepada pihak perusahaan atas kelalaian dan apabila perusahaan tidak segera menanggapinya maka pihak Ditjen Minerbapabum akan membuat surat pemutusan kontrak sepihak.

Kebijakan mengenai penetapan royalti dan iuran tetap serta pengenaan denda atas keterlambatan pemenuhan kewajiban keuangan perusahaan telah diterapkan secara memadai melalui pelaksanaan PP 45 tahun 2003, Kepmen Pertambangan Dan Energi Nomor 1261k/25/MPE/1999 dan Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara itu sendiri, serta aturan lainnya.

3. Perencanaan

Pendapatan Negara Bukan Pajak sumber daya alam di lingkungan Dep ESDM TA 2005 diestimasikan sebesar Rp4.181.519.04 juta dan realisasinya sebesar Rp4.559.038.60 juta. Sedangkan untuk tahun 2006 target diestimasikan sebesar Rp5.588.781,07 juta, sedangkan realisasinya sampai dengan Semester I tahun 2006 sebesar Rp4.223.368,49 juta.

Perencanaan penetapan anggaran penerimaan PNBP Dep. ESDM didasarkan pada hasil pembahasan Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) antara perusahaan/kontraktor dengan Ditjen Minerbapabum. Pembahasan tersebut pada umumnya dilaksanakan pada setiap bulan November dan Desember berdasarkan data keuangan dan data hasil produksi tahun berjalan. Ditjen Minerbapabum selanjutnya akan memperkirakan besar PNBP setelah mengevaluasi laporan keuangan, laporan produksi, dan laporan penjualan perusahaan yang bersangkutan.

Perencanaan atas PNBP Dep. ESDM disusun secara jelas dan dilaksanakan secara memadai melalui pembahasan dengan instansi terkait lainnya.

4. Prosedur.

Prosedur Perhitungan kewajiban Perusahaan PKP2B dilaksanakan secara self assessment oleh perusahaan. Kewajiban tersebut meliputi kewajiban keuangan sesuai kontrak, diantaranya meliputi pembayaran atas iuran tetap, iuran produksi/royalti, dan pajak-pajak. Khusus untuk perhitungan kewajiban pembayaran royalti dan iuran tetap, pihak Perusahaan PKP2B menghitung berdasarkan jumlah produksinya. Laporan produksi tersebut dilaporkan kepada Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Batubara (DPMB) Dep. ESDM termasuk laporan hasil penjualan batubara milik Pemerintah yang dijual bersama-sama dengan milik perusahaan.

Hasil penjualan batubara milik Pemerintah oleh perusahaan akan disetorkan kepada Pemerintah Indonesia melalui rekening Kas Negara Nomor 501.000000 pada Bank Indonesia sebagai penerimaan hasil tambang. Kas Negara menyampaikan copy bukti setor ke Departemen ESDM dhi. Biro Keuangan yang merekapitulasi pendapatan tersebut sebagai PNBP berdasarkan bukti setor (nota kredit) yang dikirim oleh Kas Negara atau berdasarkan RKP (Rekening Koran Pemerintah) dari Dit. PKN Dirjen Perbendaharaan Dep. Keuangan. Berdasarkan data PNBP yang telah dicocokkan tersebut, Departemen ESDM mengeluarkan surat pemberitahuan kepada Dep. Keuangan untuk membagikan dana perimbangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan.
Prosedur pembayaran iuran tetap, iuran produksi/royalti, dan pajak-pajak dilaksanakan secara self assesment. Dari hasil pemeriksaan diketahui terdapat perusahaan yang lalai, terlambat, maupun kurang bayar dalam melaksanakan kewajiban keuangannya. Hal ini disebabkan pengawasan yang lemah dan belum maksimalnya upaya dari Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Batubara (DPMB) untuk menagih kewajiban perusahaan tersebut.

5. Pembukuan/penatausahaan

Penatausahaan administrasi keuangan atas kegiatan PKP2B dilaksanakan oleh Sub Bagian Anggaran Pendapatan, Bagian Pelaksanaan Anggaran, Biro Keuangan Dep. ESDM dengan membukukan seluruh penerimaan negara sektor sumber daya alam berdasarkan pada copy bukti setor yang diterima dari Kas Negara atau perusahaan. Selain copy bukti setor, Sub. Bag Anggaran Pendapatan membukukan penerimaan dari RKP.

Laporan rekapitulasi penerimaan sumber daya alam yang dibuat Biro Keuangan Dep. ESDM khususnya untuk penerimaan dari sektor batubara (PKP2B) dicocokkan dengan Subdit PMBP pada Direktorat PMBP dan BLU DJAPK Dep. Keuangan setiap triwulanan sebelum dilaksanakan pembagiannya ke daerah-daerah. Pembukuan dana hasil kegiatan PKP2B lebih banyak dilakukan oleh Dit. PMBP dan BLU Dep. Keuangan sedangkan pihak Dep. ESDM, dhi. Sub Bagian Anggaran Pendapatan, hanya menerima tembusan copy bukti setor dan dibukukan sesuai hasil perhitungan pembagian yang dilakukan oleh Dep. Keuangan.

6. Pelaporan

PNBP dari sektor sumber daya alam, dilaporkan oleh Dep. ESDM melalui Laporan Realisasi Anggaran (LRA). Namun karena proses pelaporan LRA dan pelaporan PNBP pada Dep. ESDM dilaksanakan oleh dua unit kerja yang terpisah, maka laporan PNBP dalam LRA berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sub Bagian Anggaran Pendapatan. Perbedaan ini disebabkan data yang dibukukan dalam LRA hanya berdasarkan data SSBP yang dikirimkan dari Kas Negara sedangkan data yang dilaporkan oleh Sub Bagian Anggaran Pendapatan selain SSBP juga berdasarkan copy bukti setor. Pelaporan besarnya PNBP Dep. ESDM belum sepenuhnya benar karena lemahnya koordinasi di antara bagian yang terlibat dalam pelaporan di lingkungan Dep. ESDM. Selain itu masih terdapat beberapa permasalahan dari pihak perusahaan terkait dengan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Pengusahaan Mineral Batubara (DPMB) yaitu:

a. Laporan disampaikan tidak tepat waktu;
b. Laporan tidak lengkap, yaitu mengenai informasi yang tidak dilaporkan;
c. Laporan tidak seragam, sehingga menyulitkan untuk mengevaluasi.

7. Pengawasan

Pengawasan PNBP dari sektor sumber daya alam dilaksanakan oleh DPMB Dep. ESDM dan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) dari Direktur PMBP dan BLU) DJAPK Dep. Keuangan. Pengawasan yang dilaksanakan oleh DPMB Dep. ESDM meliputi pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pertambangan mulai tata cara pertambangan sampai dengan perhitungan data produksi dan pemasaran. Pengawasan tersebut pada kegiatan tahun berjalan. Sedangkan pengawasan yang dilaksanakan oleh Tim OPN meliputi pengawasan atas kewajaran data penjualan termasuk harga jual, pembebanan biaya penjualan, dan kebenaran perhitungan persediaan milik Pemerintah. Pengawasan oleh Tim OPN adalah pengawasan atas kegiatan tahun yang lalu (post audit).

Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh DPMB meliputi bidang produksi dan pemasaran. Pelaksanaan evaluasi dalam DPMB dilakukan oleh tim-tim evaluator yang masing-masing menangani suatu perusahaan tertentu. Tim evaluator memantau kelengkapan data yang dikirim oleh perusahaan pelaksana PKP2B, meliputi data produksi bulanan, laporan triwulanan dan dokumen-dokumen penjualan. Selanjutnya atas data yang diterima, dilakukan evaluasi produksi dan pemasaran. Evaluasi produksi dilakukan dengan merekapitulasi data serta mereview perhitungan perusahaan. Jika ditemukan kejanggalan atau trend yang berbeda dengan periode sebelumnya, evaluator akan menanyakan hal tersebut kepada perusahaan.

Evaluasi pemasaran dilakukan dengan merekapitulasi data penjualan dalam hal ini bill of lading. Selain itu dilakukan juga pemantauan atas harga mineral di pasar dunia, yaitu pada Barlow Jonker untuk batubara dan pada London Mineral Exchange (LME) untuk Nickel dan mineral lainnya.
Data-data produksi yang telah direkapitulasi oleh DPMB kemudian diinput di website yang bisa di akses oleh publik.

Di akhir tahun dilakukan pula evaluasi atas kinerja perusahaan, yaitu dengan membandingkan laporan tahunan perusahaan dengan RKAB perusahaan tahun terkait. Pembahasan juga dilakukan untuk RKAB tahun yang akan datang yang harus disetujui oleh Dep. ESDM.
Tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai, masih terdapat kelemahan dalam SPI, khususnya mengenai prosedur kerja dan pengawasan serta ketaatan pada azas yang tidak sepenuhnya dilaksanakan baik oleh para pelaksana maupun penanggungjawab pengelolaan PNBP Iuran PKP2B. Beberapa kelemahan adalah:

a. Tidak ada sanksi yang tegas atas kelambatan pengiriman laporan-laporan tersebut meskipun hal itu dimungkinkan dalam kontrak.
b. Evaluasi yang dilakukan lebih bersifat administratif yaitu rekapitulasi tanpa ada analisa mendalam atas transaksi yang terjadi.

B PT Kaltim Prima Coal

1. Pendirian

PT KPC didirikan berdasarkan akta notaris No 28 oleh notaris Warda Sungkar Alurmei, S.H pada tanggal 9 Maret 1982 yang telah disahkan oleh menteri kehakiman dengan surat keputusan Y.A.S/208/25 pada tanggal 16 maret 1982 dan telah di amandemen beberapa kali dan yang terakhir melalui akte notaris No 175 oleh notaris Sutjipto, S.H pada tanggal 29 Juli 1997. Akte ini disahkan oleh menteri kehakiman pada tanggal 3 September 1997 dengan surat keputusan No.C2-8987-HT.01.04.TH.97 dan dipublikasikan di Supplement No.810 of State Gazette No.11 tanggal 6 Februari 1998.

2. Kepemilikan

Pada tanggal 16 juli 2003, PT Bumi Resources Tbk menandatangani perjanjian jual beli antara BP dan Rio Tinto untuk mengakuisisi PT Kaltim Prima Coal. Kesepakatan jual beli diselesaikan pada tanggal 10 Oktober 2003. PT Bumi Resources Tbk didirikan pada tahun 1973 dan termasuk salah satu perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya.

Bisnis utama perusahaan adalah di bidang energi, minyak dan gas bumi. Sejak terdaftar di bursa efek pada tahun 1990, perusahaan telah mengakuisisi beberapa perusahaan yaitu Gallo Oil (Jersey) Ltd., PT Arutmin Indonesia dan PT Kaltim Prima Coal. Akuisisi ini sejalan dengan visi perusahaan untuk menjadi “World Class Operator with World Wide Operations” dalam sektor bisnis utama perusahaan.

3. Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan batubara (PKP2B)

Pada tanggal 8 april 1982, PT KPC melakukan perjanjian kerjasama batubara dengan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) sebagai salah satu BUMN yang bergerak dibidang eksplorasi dan eksploitasi batubara di Kalimantan Timur. Pembangunan infrastruktur pertambangan berlokasi di Sangatta dimulai pada bulan Januari tahun 1989 dan PT KPC memperbesar skala produksi pada 1 September 1991 dibawah kesepakatan dalam PKP2B. Pada tahun 1997 PKP2B diamandemen dimana hak dan kewajiban PTBA dialihkan kepada Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang berlaku efektif 1 Juli 1997.

4. Lokasi

Kegiatan operasi PT KPC terletak di sekitar Sangatta, kota di Kutai Timur, provinsi Kalimantan Timur di Indonesia. Sangatta terletak 180 KM sebelah utara Samarinda dan 310 KM sebelah utara Balikpapan. KPC mempunyai sejumlah pit atau lokasi tambang yang terletak di Sangatta yang dioperasikan oleh KPC dan kontraktor.

Pada Juni 2005, kegiatan tambang di Bengalon mulai dioperasikan dan terletak kira-kira 25 KM ke arah utara dari Sangatta. Kegiatan operasi pertambangan Bengalon dikontrakkan kepada PT Darma Henwa.

Pertambangan Sangatta terletak tidak jauh dari fasilitas pelabuhan di Tanjung Bara yang dihubungkan dengan Over Land Conveyor sepanjang kira-kira 13 KM. Pertambangan Bengalon juga terletak tidak jauh dengan pantai dan dihubungkan oleh jalan tambang sepanjang 22 KM ke fasilitas pelabuhan di Tanjung Bara.

Sebagian besar karyawan PT KPC tinggal di Swarga Barga dan Prima Griya Lestari, area perumahan yang dibangun perusahaan. Sebagian karyawan yang lain bertempat tinggal di komunitas Tanjung Bara yang terletak kira-kira 17 KM dari pertambangan.

5. Kegiatan Pertambangan

Kegiatan penambangan dilakukan oleh PT KPC dan bekerja sama dengan sub kontraktor (Thiess & Pama). PT KPC melakukan kegiatan penambangan di lima pit antara lain pit Bukit Hatari AB, Belut, Pelikan, Harapan South, Khayal, Bengalon. Sedangkan sub kontraktor Pama melakukan kegiatan penambangan di pit J dan sub kontraktor Thiess melakukan kegiatan penambangan di Bendili dan Melawan.

PT KPC memiliki crusher yang berfungsi untuk memecah batubara sesuai dengan keinginan konsumen sebanyak 5 unit dan 1 unit crusher untuk proses pencucian batubara yang terletak di Sangatta dan 1 unit crusher yang terletak di Bengalon. Infrastruktur yang menjadi keunggulan PT KPC adalah Over Land Conveyor sepanjang 13 KM yang mampu mengangkut 4200 MTph batubara menuju port dan berakhir di shipment. Selain memiliki OLC, PT KPC juga memiliki Barge Facilities Loading di Sangatta dan Main Facilities Loading di Bengalon untuk mensupport penjualan batubara. Jenis batubara yang diproduksi PT KPC terdiri dari jenis Prima, Pinang dan Melawan dimana masing-masing jenis memiliki struktur dan komposisi yang berbeda. Produk yang menjadi andalan adalah batubara jenis Prima.

6. Ikhtisar Laporan Keuangan

TAHUN

2005

2004

A

Balance Sheet

Assets

– Current Assets

369.567.773

297.399.824

– Non Current Assets

837.378.672

740.921.425

Total Assets

1.206.946.445

1.038.321.249

Liabilities And Shareholders’ Equity

– Current Liabilities

537.006.550

433.869.416

– Non Current Liabilities

446.731.243

441.100.609

– Shareholders’ Equity

223.208.652

163.351.224

Total Liabilities And Shareholders’ Equity

1.206.946.445

1.038.321.249

B

Revenue, Expenses, & Net Income

Net Sales

1.076.053.260

659.170.996

Cost Of Sales

(823.307.811)

(386.957.740)

Gross Profit

252.745.449

272.213.256

Operating Expenses

(124.112.122)

(87.310.412)

Operating Income

128.633.327

184.902.844

Other Income (Expenses)

(18.393.024)

(23.938.958)

Income Before Tax Benefit (Expenses)

110.240.303

160.963.886

Tax Benefit (Expenses)

(50.382.875)

(72.026.395)

Net Income

59.857.428

88.937.491

III. Temuan Pemeriksaan

Ketertiban penatausahaan dan penyetoran ke kas negara

a. Royalti pemerintah atas penjualan batubara PT Kaltim Prima Coal kurang pungut sebesar USD13,844.53 ribu

Berdasarkan Perjanjian kerjasama penjualan batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005, Pemerintah memperoleh royalti sebesar 13,5% dari seluruh batubara yang diproduksi PT KPC yang diambil dari fasilitas pemuatan terakhir milik PT KPC. Sesuai Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara antara Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (DGSDM) dengan PT KPC, Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005 Pemerintah menunjuk PT KPC untuk melakukan penjualan Batubara Pemerintah tersebut. Dengan demikian dalam setiap pengapalan sesuai dengan transaksi jual beli selalu terdiri dari 86,5% batubara PT KPC dan 13,5% batubara Pemerintah.

PT KPC menjual batubara hasil produksinya melalui dua cara yaitu langsung kepada pembeli atau melalui Indocoal Resources Limited (Indocoal). Penjualan melalui Indocoal dilakukan melalui dua tahap yaitu penjualan dari PT KPC ke Indocoal dan penjualan dari Indocoal ke pembeli akhir (end user). Dalam pelaksanaannya perhitungan besarnya royalti dilakukan oleh PT KPC didasarkan pada penjualan kepada Indocoal meskipun dalam kontrak disebutkan bahwa royalti dihitung berdasarkan penjualan batubara ke pembeli akhir. Rekonsiliasi dilakukan secara periodik oleh PT KPC dengan Indocoal untuk mengetahui harga jual batubara Indocoal ke pembeli akhir sehingga nilai royalti PT KPC sesuai dengan ketentuan, yaitu dihitung berdasarkan harga jual ke pembeli akhir.

Royalti PT KPC periode 2005 dan Semester I 2006 berdasarkan data Ditjen Minerbapabum Departemen ESDM yang diperoleh dari PT KPC berdasarkan harga penjualan kepada Indocoal adalah sebesar USD216,279.58 ribu.
Hasil audit BPK menunjukkan bahwa royalti PT KPC untuk periode 2005 dan Semester I 2006 berdasarkan harga jual pada pembeli akhir adalah sebesar USD230,124.12 ribu, sehingga untuk periode tersebut terjadi kekurangan kewajiban sebesar USD13,844.53 ribu, dengan rincian sebagai berikut:

(dalam ribuan USD)

Bulan

Royalti Menurut Perhitungan BPK-RI

Royalti yang dilaporkan PT KPC ke DESDM

Selisih

Tahun 2005

Triwulan I

27,974.01

27,616.07

357.93

Triwulan II

35,436.89

34,691.71

745.17

Triwulan III

46,027.60

44,071.26

1,956.33

Triwulan IV

43,575.41

40,584.49

2,990.91

Total 2005

153,013.92

146,963.55

6,050.36

Semester I 2006

Triwulan I

37,384.08

34,048.37

3,335.71

Triwulan II

39,726.11

35,267.65

4,458.45

Total Semester

77,110.19

69,316.03

7,794.16

Total 2005 & Sm I 2006

230,124.11

216,279.58

13,844.53

Hal tersebut tidak sesuai dengan:

Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005:

1) Pasal 2 ayat (1), pemerintah menunjuk perusahaan untuk melakukan penjualan batubara pemerintah, yaitu sebesar 13,5% dari seluruh betubara yang diproduksi oleh perusahaan yang diambil dari fasilitas pemuatan terakhir milik perusahaan.
2) Pasal 2 ayat (2), dalam setiap pengapalan sesuai dengan transaksi jual beli akan selalu terdiri dari 86,5% batubara perusahaan dan 13,5% batubara pemerintah.

Hal tersebut mengakibatkan Pemerintah kurang menerima royalti dari PT KPC Tahun 2005 dan Semester I 2006 sebesar USD13,844.53 ribu.
Hal tersebut terjadi karena PT KPC terlambat melakukan rekonsiliasi penghitungan royalti dengan Indocoal untuk mengetahui nilai penjualan batubara Indocoal ke pembeli akhir sebagai dasar penghitungan royalti, dan pengawasan dari Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi belum optimal.

Atas permasalahan tersebut PT KPC menyatakan setuju dengan perhitungan BPK. Selisih tersebut semata disebabkan karena pada saat pemeriksaan oleh BPK PT KPC masih dalam proses rekonsiliasi penghitungan royalti tersebut. Dirjen Minerbapabum menyatakan bahwa penghitungan besarnya nilai penjualan batubara bagian pemerintah dilakukan secara self assessment oleh perusahaan, dan data yang tercatat di Ditjen Minerbapabum didasarkan pada laporan dari perusahaan. Rekonsliasi data dilakukan pada saat pemerintah melakukan audit. Berdasarkan hasil audit BPK Dirjen Minerbapabum akan menagih kewajiban keuangan PT KPC periode tahun 2005 sampai dengan Triwulan II 2006 yang kurang pungut sebesar USD13,844.53 ribu.

BPK RI menyarankan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memerintahkan Dirjen Minerbapabum untuk segera menagih kekurangan tersebut dan meningkatkan pengawasan atas perhitungan royalti perusahaan-perusahaan PKP2B.

b. Royalti Pemerintah dan denda keterlambatan kurang bayar sebesar USD23,121.29 ribu

Sesuai Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, PT KPC wajib menyetor royalti setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah disepakati sebagai pengeluaran bersama. Royalti tersebut disetorkan ke Rekening Kas Negara pada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 hari setelah akhir triwulan, dalam bentuk mata uang sesuai dengan yang diterima KPC dari setiap penjualan batubara.

Hasil evaluasi atas perhitungan royalti PT KPC periode tahun 2005 s.d. Semester I 2006 menunjukkan bahwa kewajiban royalti PT KPC pada periode tersebut adalah sebesar USD230,124.12 ribu. Dari jumlah tersebut sampai dengan pemeriksaan berakhir PT KPC telah melaporkan kewajiban royalti tahun 2005 dan semester I 2006 kepada Departemen ESDM sebesar USD216,279.58 ribu. Berdasarkan review atas realisasi pembayaran royalti dan pemotongan klaim Pajak Pertambahan Nilai (PPN), diketahui bahwa pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT KPC atas kewajibannya tersebut melewati batas waktu yang telah ditentukan sehingga dapat dikenakan sanksi berupa denda.

Dari jumlah yang telah dilaporkan tersebut, sampai dengan Oktober 2006 PT KPC telah melakukan 17 kali pembayaran secara bertahap kepada pemerintah atas kewajiban royalti tahun 2005 dan royalti semester I tahun 2006 sebesar USD138,106.29 ribu. Sehingga sampai dengan akhir pemeriksaan, dengan pemotongan klaim PPN sebesar USD67,611.61 ribu, masih terdapat kewajiban yang belum dibayar oleh PT KPC sebesar USD23,121.29 ribu, yang terdiri dari royalti sebesar USD10,561.68 ribu dan denda sebesar USD12,559.60 ribu. Pemotongan klaim PPN sebesar USD67,611.61 ribu atas royalti dilakukan PT KPC karena PPN senilai tersebut belum direimburse oleh Pemerintah. Dalam PKP2B dijelaskan bahwa pajak-pajak yang tidak diatur dalam kontrak, termasuk PPN, ditanggung pemerintah. Rincian perhitungan terlampir.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005:
1) Pasal 5 ayat 4 antara lain menyatakan Perusahaan wajib menyetor hasil penjualan batubara Pemerintah ke Rekening Kas Negara pada Bank Indonesia selambat-lambatnya 30 hari setelah akhir triwulan.
2) Pasal 5 ayat 5, antara lain menyatakan bahwa setiap keterlambatan dalam pembayaran oleh perusahaan akan dikenakan bunga setiap bulan sebesar 2% untuk transaksi dalam Rupiah dan 1% untuk transaksi dalam Dolar Amerika sejak pembayaran jatuh tempo sampai dengan pelaksanaan pembayaran jumlah terutang, dan bagian dari bulan dihitung satu bulan.

Hal tersebut mengakibatkan Pemerintah kurang menerima royalti dan denda Tahun 2005 dan Semester I 2006 dari PT KPC sebesar USD23,121.29 ribu.

Hal tersebut terjadi karena PT KPC lalai menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah berupa pembayaran royalti dan denda.

Atas permasalahan tersebut PT KPC menyatakan setuju atas perhitungan BPK atas saldo pokok tunggakan. PT KPC setuju dengan adanya unsur denda namun minta agar denda yang harus dibayar sebesar USD8,080.82 ribu untuk tahun 2005 dan semester I 2006 sesuai perhitungan PT KPC. Dirjen Minerbapabum menyatakan akan menagih kewajiban keuangan PT KPC periode tahun 2005 sampai dengan Triwulan II 2006 yang terdiri dari royalti yang kurang dibayar sebesar USD10,561.68 ribu dan denda keterlambatan sebesar USD12,559.60 ribu.

BPK RI menyarankan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memerintahkan Dirjen Minerbapabum untuk segera menagih tunggakan royalti dan dendanya tersebut dan meningkatkan pengawasan atas pembayaran royalti perusahaan-perusahaan PKP2B.

c. Royalti atas penggunaan langsung batubara tidak dipungut sebesar USD173.15 ribu

Untuk memenuhi kebutuhan listrik terutama untuk kepentingan produksi dan penjualan, PT Kaltim Prima Coal (PT KPC) membangun satu unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di lingkungan PT KPC. Bahan bakar yang digunakan adalah batubara hasil produksi PT KPC sendiri. Listrik yang dihasilkan PLTU tersebut digunakan untuk keperluan perusahaan mulai dari produksi sampai dengan penjualan.

Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa penggunaan batubara sendiri untuk keperluan PLTU tersebut pada periode 2005 dan semester I 2006 adalah sebesar 58.858,2 MT dengan total daya listrik yang dihasilkan pada periode yang sama sebesar 129.680 MW. Dari nilai daya tersebut, 93.552,70 MW digunakan untuk keperluan produksi dan 35.822,33 MW digunakan untuk keperluan penjualan.

Dari hasil penelitian terhadap perhitungan royalti yang dibayarkan PT KPC kepada pemerintah diketahui batubara yang digunakan untuk keperluan pembangkit listrik tersebut ternyata belum diperhitungkan dalam royalti pemerintah.

Dalam hal ini penggunaan batubara pemerintah untuk menghasilkan listrik untuk keperluan penjualan sebesar 35.822,33 MW bisa dibenarkan karena penggunaannya bisa dikategorikan sebagai biaya bersama. Hal yang sama tidak berlaku bagi penggunaan batubara yang menghasilkan listrik sebesar 93.552,70 MW untuk keperluan produksi karena biaya produksi sepenuhnya merupakan beban perusahaan. Oleh karena itu penggunaan batubara untuk proses produksi tersebut perlu memperhitungkan batubara bagian pemerintah yang digunakan.

Berdasarkan perhitungan BPK dari total batubara yang digunakan untuk PLTU sebesar 58.858,2 MT, yang digunakan untuk produksi adalah sebesar 42.344,20 MT. Sehingga jumlah batubara bagian pemerintah yang digunakan untuk produksi PT KPC adalah sebesar 5.716,47MT (13,5% x 42,344,20MT). Dengan perhitungan harga produksi batubara sebesar USD30.29 maka besarnya royalti yang dibayar PT KPC kurang sebesar USD173.15 ribu.
Kondisi di atas tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara antara Direktorat Jenderal Geologi Dan Sumber Daya Mineral Dengan PT Kaltim Prima Coal yaitu mengacu pada:

1) Pasal 1 ayat (3); Batubara Pemerintah berarti batubara bagian pemerintah, yaitu 13,5% (tiga belas koma lima per seratus) dari seluruh batubara yang diproduksi oleh perusahaan yang menjadi hak pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Batubara.

2) Pasal 1 ayat (6); Pengeluaran Bersama adalah beban biaya bersama yang timbul pada setiap Pengapalan.

Hal tersebut mengakibatkan Pemerintah kurang menerima royalti Tahun 2005 dan Semester I 2006 dari PT Kaltim Prima Coal sebesar USD173.15 ribu.

Hal tersebut terjadi karena PT Kaltim Prima Coal mengikuti kebijakan yang telah disepakati bersama dengan Pemerintah yang diwakili oleh Perum Tambang Batubara dalam Minutes of Meeting tanggal 11 April 1990 tentang tatacara perhitungan royalti yang menyebutkan bahwa hak Pemerintah adalah 13,5% dari shipment batubara.

Atas permasalahan tersebut PT KPC menyatakan bahwa selisih tersebut terjadi karena metode perhitungan yang dilakukan oleh PT KPC untuk hak pemerintah sebesar 13,5% dari shipment, dimana metode tersebut dilakukan berdasarkan pada hasil pertemuan tanggal 11 April 1990, antara PT KPC dan pemerintah yang diwakili oleh Perum Tambang Batubara. Namun dengan adanya perhitungan yang obyektif dari BPK dimana unsur penggunaan untuk produksi dan pengapalan telah dipisahkan sedemikian rupa, dengan ini PT KPC dapat menerima perhitungan BPK senilai USD173.15 ribu. Dirjen minerbapabum menyatakan akan melakukan penagihan atas nilai batubara bagian pemerintah yang digunakan oleh PT KPC untuk pembangkit listrik sebesar USD173.15 ribu.

BPK RI menyarankan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memerintahkan Dirjen Minerbapabum untuk segera menagih kekurangan perhitungan royalti tersebut dan meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan PKP2B.

d. Saldo Akhir Batubara PT KPC Di Tanjung Bara Coal Terminal Menurut Perhitungan BPK RI Berbeda Dengan Hasil Stok Opname

Pelaksanaan produksi batubara dari lokasi penambangan (pit area/loading point) sampai penjualan batubara PT KPC terdiri dari beberapa kegiatan yaitu :

1) Pengupasan tanah penutup (over burden) dan pembuangannya;

2) Penggalian dan pengangkutan batubara dari pit area ke Run of Mine (ROM) Stock pile.

3) Pemecahan dan pencucian batubara di crusher Coal Production Plant (CPP) dan pengangkutan menggunakan Over Land Conveyor (OLC) dan trucking ke stok pile Tanjung Bara Coal Terminal (TBCT).

4) Penjualan batubara.
Hasil pengujian secara sample terhadap data sumber harian yaitu Stacking and Shiftloading Summary Report pada tiga bulan terakhir 2005 diketahui bahwa total stock akhir triwulan IV tahun 2005 di Tanjung Bara Coal Terminal (TBCT) adalah sebesar 774.243 MT. Sedangkan hasil Stock Opname pada triwulan IV tahun 2005 menunjukkan jumlah stock di TBCT sebesar 736.099 MT. Dengan demikian terjadi kekurangan stock batubara di TBCT sebesar 38.144 MT, dengan rincian sebagai berikut:

Month

October (MT)

November (MT)

December (MT)

A. Stok awal TBCT

803.971 *

858.703

860.740

B. Produksi Batubara:

– Stacking South

405.232

187.729

126.746

– Stacking North

198.770

288.741

232.257

– By pass

1.602.658

2.073.431

2.191.714

C. Batubara siap jual (A + B)

3.010.631

3.410.048

3.411.457

D. Penjualan Batubara

2.151.928

2.549.308

2.635.770

E. Stok Akhir (C – D)

858.703

859.296

774.243

F. Stok Opname

736.099

G. Selisih(E – F)

38.144

Dari jumlah selisih sebesar 38.144 MT, batubara bagian pemerintah adalah sebesar 5.149,44 MT (38.144 x 13,5%). Sampai dengan berakhirnya pemeriksaan, batubara bagian pemerintah sebesar 5.149,44 MT tidak dapat diketahui keberadaannya.

Kondisi di atas tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama Penjualan Batubara Nomor 05A.KS/07.00/DJG/2005 tanggal 1 Juli 2005:

1) Pasal 1 ayat (3), batubara pemerintah berarti batubara bagian pemerintah yaitu 13,5% dari seluruh betubara yang diproduksi oleh perusahaan yang menjadi hak pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam PKP2B.

2) Pasal 2 ayat (1), pemerintah menunjuk perusahaan untuk melakukan penjualan batubara pemerintah, yaitu sebesar 13,5% dari seluruh betubara yang diproduksi oleh perusahaan yang diambil dari fasilitas pemuatan terakhir milik perusahaan.
3) Pasal 2 ayat (2), dalam setiap pengapalan sesuai dengan transaksi jual beli akan selalu terdiri dari 86,5% batubara perusahaan dan 13,5% batubara pemerintah.

Hal tersebut mengakibatkan royalti yang diterima pemerintah dari PT KPC triwulan IV Tahun 2005 kurang dari yang seharusnya.

Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan waktu antara tanggal stock opname yang dilakukan Sucofindo pada tanggal 30 Desember 2005, pk.12:15 dengan arus batubara sampai dengan 31 Desember 2005.

Atas permasalahan tersebut PT KPC menanggapi bahwa selisih 38.144 MT disebabkan antara lain oleh adanya perbedaan waktu setelah tanggal dan jam stok opname tanggal 30 Desember 2005 pukul 12.15, sebanyak 25.207 MT. Selisih 9.574 MT (Oktober – Desember 2005) adalah penggunaan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik. Selisih bersih adalah 3.363 MT. Sehingga jumlah batubara bagian pemerintah adalah 13,5% x 3.363 MT = 454 MT.

Dengan perhitungan harga produksi batubara sebesar USD30.29 /MT maka besarnya royalti yang akan dibayar PT KPC adalah USD13.75 ribu. Jumlah ini akan segera disetor ke kas negara. Dirjen Minerbapabum menyatakan akan melakukan penagihan atas nilai batubara bagian pemerintah sebesar 454 MT, sebagai selisih hasil stok opname triwulan IV 2005.

BPK RI menyarankan agar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memerintahkan Dirjen Minerbapabum untuk segera menagih kekurangan royalti tersebut dan meningkatkan pengawasan atas produksi perusahaan-perusahaan PKP2B.

November 1, 2007 at 8:39 am Leave a comment

BP’s Coal Interest: Kaltim Prima

Longer version published in ‘Down to Earth’ newsletter 52, February 2002

BP currently jointly owns and manages Indonesia’s biggest coal mine. It has 50% of the shares in PT Kaltim Prima Coal (KPC), a massive open cast mine near Sangatta in East Kalimantan. The Anglo-Australian mining giant, Rio Tinto, owns the other 50%.

KPC is currently embroiled in a power struggle with the local authorities as, under the initial agreement, this foreign-owned company must sell off 51% of its shares to Indonesian parties. Tension has been rising since regional autonomy legislation came into force in January 2001. The East Kalimantan provincial government is determined to get its hands on KPC’s lucrative operations. If a deal is made, it will be the first time that a regional administration is involved in running a large-scale mining business in Indonesia. KPC claims the local authority’s aggressive attitude is making foreign investors wary about future involvement in Indonesia.

In October 2001, the East Kalimantan provincial government started legal action against KPC for failure to divest its shares. The local authority is seeking US$772 million damages, $4m legal costs and seizure of company assets. Rio Tinto has threatened to pull out of PT KPC completely if the court rules in favour of the East Kalimantan government.

The East Kalimantan authorities are keen to acquire a majority shareholding, but KPC does not want to lose control to a single investor. It is not hard to see why both sides are so determined. This is one of the world’s largest coal mining companies with an output of around 15 million tonnes per year and reserves estimated to last for another 20 years. The KPC concession contains around half the 4.41 trillion tonnes total proven coal reserves in East Kalimantan. The coal is high quality and, despite strikes in 2000 and 2001, labour costs are relatively low. Government revenues of over US$300,000 a day (derived from 13.5 per cent royalty on coal sales and 35 per cent income tax) on a daily output of over 50,000 metric tonnes of high quality coal give some idea of what the mine is worth.

From January 2001, most of these revenues (80%) go to the local government instead of to Jakarta. Under current rules, the provincial government only gets one quarter of the local government’s share; the rest goes to district level.

KPC has its own deep water port on the East Kalimantan coast. The mine employs over 6,400 workers – 2,600 employees and the rest via subcontractors. Rio Tinto alone is said to have invested US$450 million in the site.

Negotiations reached deadlock in mid-2001 over the valuation of the shares. KPC insists that only the company and central government have the right to determine share prices but Jakarta has been reluctant to take a stand. The deadline for agreement has now been extended until March 31st 2002.

Although East Kalimantan is a rich province, US$450 million is a lot of money to raise for the 51% share. The local government has apparently chosen a private investor to finance the acquisition: the Jakarta-based company, PT Intan Bumi Inti Pradana , but this may – in turn – be raising money from other companies. The East Kalimantan authorities have not released any information about the financing or who is behind the company. According to one report, the local government would get 10 per cent of the stake for free. Two sons of top East Kalimantan administration officials are believed to work at PT Intan.

Strikes and compensation

A series of strikes and compensation disputes with local landowners cut KPC’s output in 2000 and 2001. Compensation claims are still outstanding for 7273.5 hectares of land in and around the mine site. KPC agreed to pay around Rp 10 billion (US$1 million) to end a land dispute with villagers from Bengalon in February 2001, but refused to meet the demands of 600 other farmers for Rp 3.3 billion to cover more than 3,000 ha of their land taken for mining activity. The company insisted that it had paid adequate compensation and blamed manipulation involving insiders.

Farmers from Kabojaya village near Sangatta have protested to the East Kutai district over pollution from KPC. The villagers say that waste from the mine made it impossible to grow crops. They also could no longer use the water from the Murung river for daily activities like cooking, bathing or washing. The people demanded compensation of around Rp 1 billion, but KPC have offered an irrigation facility worth Rp 700 million instead. KPC have hired an Indonesian subsidiary of the European company Group 4 to provide security for its operations since August 2000. This has also been the cause of protests as local people feared losing their jobs to outsiders.

KPC has tried to get on the right side of the local authorities by committing US$1.5 million a year to community development projects in East Kutai district. This has funded Sangatta high school, a micro credit scheme, a health programme and agricultural projects.

The authorities are reluctant to impose controls on KPC’s operations and do all they can to prevent stoppages because of KPC’s impact on the local economy. Thousands of workers living in or around the town of Sangatta depend directly or indirectly on the mine for jobs. Most of the local population comprises settlers from other parts of Kalimantan, Sulawesi and Java.

October 26, 2007 at 5:58 pm 1 comment

Business Week article on KPC (Kaltim Prima Coal) in IndonesiaBusiness Week European Edition May 20, 2002

By Michael Shari, Sangatta, Indonesia

In the post-Suharto era, everyone wants a piece of the action. Result: An investor nightmare

Noke Kiroyan, chairman of mining giant Rio Tinto’s Indonesia operations, seems unnaturally calm as he appears for a hastily rescheduled meeting in a coffee shop at the Jakarta Hilton. Just hours earlier at 12:45 p.m. on March 26, the receptionist at his office on the 28th floor of Jakarta’s swank Kadin Tower got a phone call. “I am from Kalimantan,” said the male voice. “At 2 pm, the Rio Tinto office will explode.” Then he hung up. Kiroyan’s staff whisked him down to the lobby as a police bomb squad arrived and office workers fled. The threat turned out to he a hoax.

Kiroyan is used to such disruptions. His life has become a test of nerves since late 2000, when the government of East Kalimantan province, part of the island of Borneo, began a campaign to take a controlling stake in Kaltim Prima Coal (KPC), a mining venture in which London-based Rio Tinto Ltd and BP PLC have invested $1 billion in the past decade. Various provincial officials have taken Indonesia-born Kiroyan to court, summoned him for interrogations, and lambasted him as “unpatriotic” for refusing to sign over control of KPC. Provincial officials say they’re doing nothing wrong. “No one in the East Kalimantan government administration is participating in or directing an intimidation campaign” against KPC shareholders, says P. D. D. Dermawan, counsel to the province’s governor. Kiroyan suspects otherwise and vows not to yield. “If you’re a professional, you don’t just jump ship at the slightest problem,” shrugs Kiroyan, 56. “I’m not acquiescing to anything I’m uncomfortable with.”

Rio Tinto’s travails could be dismissed as an unusually nasty episode in a nation struggling to develop a more civil means of mediating business disputes after decades of crony capitalism. After all, Rio Tinto and BP first secured their huge concession in East Kalimantan during the regime of dictator President Suharto. And Western mining companies – Rio Tinto included – have come under fire from environmentalists, human rights activists, and indigenous ethnic groups for a range of alleged past abuses.

But Kiroyan’s story fits a pattern that raises new, disturbing questions about Indonesia as a site for foreign investment. In industries from telecom to manufacturing to consumer products, managers of multinationals complain of growing harassment at the hands of officials across the 17,000-island nation of 220 million. The litany: endless demands for bribes, local officials who disregard contracts signed with Jakarta ministries, state corporations that renege on years-old deals, and outright threats by xenophobic nationalists and increasingly powerful Islamic fundamentalists.

Clearly, something has gone badly wrong with Indonesia’s transition to democracy since the 1998 downfall of President Suharto. Ill-designed reforms have led to a breakdown of central authority. Indonesia is now a nation of too many bosses-all seemingly determined to advance their own ambitions. Yes, Suharto is gone. But in its attempt to share power, the government, quips an economist who visits Indonesia frequently, has “created 100 Suhartos.” The resulting chaos makes it maddeningly difficult to conduct business across the far-flung nation. Increasingly, executives complain there are no impartial courts to enforce the laws or contract terms. Some top officials in Jakarta admit they’re virtually powerless to help. “You can’t just stop off in Jakarta anymore” to negotiate with power brokers, says Coordinating Minister for Finance & Economy Dorojatun Kuntjoro-Jakti. “People in the regions who were so silent in the past now must be listened to, and we are on a learning curve.”

Some multinational managers even say they live in fear. Last year, police in the port city of Surabaya threatened to imprison two foreign Cargill Inc. employees in a dispute over a grain shipment. In late 2000, Jakarta police held an Indonesian executive of Canadian insurer Manulife Financial Corp. for 20 days over a dispute with the company’s local partner. After complaining about corruption in the Customs Dept., Lee Kang Hyun, a Jakarta-based general manager of Korea’s Samsung Electronics Co., says he received death threats over the phone-and fled with his wife to Singapore twice, in 1999 and 2000.

The climate has grown so bad that several multinationals are quitting. Telecom giants such as Cable & Wireless, AT&T Wireless Services, and France Telecom are selling their stakes in big joint-ventures, saying the government and local partners have made it impossible to make a profit. “There’s no rule of law and no sanctity of contract here,” says Jakarta-based AT&T Wireless Vice-President John G. Vondras. Thiekomunikasi Indonesia says the real reason AT&T and five other partners are leaving is the weak telecom market since the 1998 crisis.

Dealing with local officials has grown so difficult that some multinationals are throwing in the towel.

The biggest cost to Indonesia is the loss of foreign know-how, which the country’s floundering economy badly needs. To be sure, some multinationals, especially in consumer goods and retailing, say the climate has dramatically improved since 1998, thanks to lower import barriers and liberalized investment rules. The chief problems, though, are with big-ticket investments, such as mines, oil projects, and utility franchises that involve long-term contracts and agreements with the central government. From 1994 to 1997, Indonesia received $38 billion in direct foreign investment. Since then, more than $50 billion in investment has flowed out of the country, according to Standard & Poor’s MMS International.

After decades of systemic corruption and cronyism, nobody expected Indonesia to level the playing field overnight. But investors had hoped reforms enacted since Indonesia’s first democratic elections in 2000 would produce a big improvement. Indeed, most foreigners give high marks to the economic team appointed by President Megawati Sukarnoputri when she took power.

“There is no rule of law,” says the AT&T Wireless executive, “and no sanctity of contract here”

But in its zeal to undo the dictatorial regime constructed by Suharto, the new government made some big mistakes. One of the biggest was the flawed design of the Regional Autonomy Law. The aim was noble enough: to give local communities more say over how they are governed and more control over the gold, gas, oil, copper; timber; and other resources extracted from thefr lands. Under Suharto, multinationals struck backroom deals in Jakarta to win long-term concessions, splitting the revenue with Suharto family members, cronies, and the military. Indigenous people benefited little while their environments were trashed and were crushed when they protested. ExxonMobil, Newmont Mining, and FreeportMeMoRan Copper & Gold stoked backlashes from Aceh to Irian Jaya. As for Rio Tinto, environmentalists say waste at its Kelian gold mine in East Kalimantan contaminated the drinking water and that mine employees helped the military forcibly evict villagers. Kiroyan denies the charges.

A law giving more power to the provinces may just benefit a new set of insiders, rather than local citizens.

The autonomy law, which took effect in January, 2001, was supposed to end such abuses by giving the country’s 26 provincial governments and 300 districts greater control over everything from taxation to public contracts. Each province now is entitled to 15% of oil revenue, 30% of gas revenue, and 80% of the proceeds from mining and forestry on their lands. They also can keep 90% of property taxes collected in their jurisdictions. Some provinces have used their new resources and autonomy well: In the Japanese city of Yogyakarta, for example, foreign investors praise Sultan Hamengku Buwono X for his efforts to fight corruption and speedily approve projects that used to take more than a year to push through Jakarta. “It’s my job to make sure things go right,” says Buwono. “If I lose a foreign investor, it’s a big loss to me as well.”

Unfortunately, such regional leaders are an exception. Most of the governors who filled the vacuum left by Jakarta’s mandarins are army generals, while most district chiefs lack even high-school educations. Also, political analysts and businessmen who visit the provinces, note there’s little sign local officials are spending the new funds on public works or development projects. “Less than 1% of this money is reaching the poor;” contends a Western diplomat. “It’s just stolen at various levels along the way.” The autonomy law’s drafters also didn’t factor in the provinces’ weak legal systems. “Decentralization is a very positive step,” says American Chamber of Commerce in Indonesia President Carol A. Hessler. “But the rules need to be transparent and to be enforced. For any investor out in the provinces, there is concern as to what law prevails – and who is in charge.”

Kiroyan’s ordeal is a good example. Rio Tinto and BP first signed a contract to develop its open-pit coal mine in the jungles of Borneo in 1982. Thanks to low labor costs, the coal costs $20 per ton to extract, making it one of the most cost-effective mines in the world. The original contract required Rio Tinto and BP to gradually divest 51% of the shares to Indonesian investors over five years, starting in 1996. To keep management control, Rio Tinto didn’t want any single investor to acquire the 51%, says Rio Tinto Indonesia President Lex Graefe.

The divestment process never got off the ground. Indonesia’s Mines & Energy Ministry had first crack at buying shares in the mine, but it couldn’t afford them after the 1997 financial crash. Neither could other local investors. So in April, 2000, KFC offered a 30% stake to the East Kalimantan government. Governor H. Suwarna agreed in writing to pay $175 million. But the next month, when Parliament debated the autonomy law, Suwarna’s office told KPC it wanted the entire 51% stake for $300 million. Rio Tinto and BP declined.

Things turned ugly. In April, 2001, Energy & Mineral Resources Minister Purnomo Yusgiantoro supported the province’s demand. When Rio Tinto again refused, East Kalimantan sued KPC, claiming $776 million in dividends it projected it would earn through 2010. Then, the South Jakarta District Court froze the mine’s equity, keeping Rio Tinto and BP from selling to others. Hardball legal tactics, to be sure. But the pressure grew. On March 12, Kiroyan was summoned to the mining ministry’s Jakarta headquarters. He was met by a ministry official, East Kalimantan Assistant Governor Syaiful Teteng, and East Kutai Deputy District Chief Mahyudin. They ordered Kiroyan to sign an amendment to KPC’s contract stating that the divestment process would start immediately, “giving priority to the East Kalimantan government.” Kiroyan refused to sign. For the next hour, the officials screamed at him, accusing him of having “no sense of nationalism.” Both Teteng and Mahyudin say their behavior was justified because Kiroyan, as an Indonesian, should place his country’s interests above those of foreigners. East Kalimantan says it deserves the 51% stake because the central government ceded its right of refusal to the province.

A big question is whether the autonomy law in this case is just benefiting a new set of insiders. One disturbing development: The East Kalimantan government apparently intends to cede most of its 51% stake to a local company, Intan Bumi Inti Pradana. A key player in this transaction is David Salim, a cousin of Anthony Salim, whose family controlled Indonesia’s best-connected business empire under Suharto. David Salim is an adviser to Intan, says Salim associate Joachim U. Rohn. This deal undercuts the principle behind local autonomy, alleges KPC attorney Mulya Lubis. “They’ve been saying this is for the people of East Kalimantan,” Lubis says, when instead the mine will be controlled by “other parties related to the Salim Group.” AnthonySalim denies be wants to take over KPC or that David represents the group.

Other multinationals have their own woes. In the latest run-in with foreign managers, a prosecutor in the city of Bandung on Apr. 17 charged AT&T’s Vondras and another company exec with embezzling $7.6 million. Vondras denies the charge, and says he suspects it is revenge for a $1.3 billion claim AT&T brought against Telekomunikasi Indonesia in a Geneva arbitration court relating to the venture’s failure. Telkom denies any role in the criminal charge.

As if Indonesia’s confusing legal system weren’t enough, companies now must cope with Islamic fundamentalism. Since Suharto’s fall, Islamists have gained clout. One target is Unilever Group, which is thriving in Indonesia. In December the Religious Affairs Ministry issued a decree that would have required Unilever to put stickers on each package of ice cream, soap, and everything else it sells proving they were prepared in accordance with Islamic principles. Buying billions of stickers from a government printer would have raised prices, and “would certainly have cut into potential sales and impeded our growth,” says Unilever Indonesia Chairman Nihal Kaviratne. The measure was delayed after Unilever complained to legislators, but the ministry vows not to back off. But the issue “will come back again,” warns Hadi Susastro, director of Jakarta’s Center for Strategic & International Studies. “It’s a new way of rent-seeking.”

Much of the rancor could have been avoided if coherent eccnomic policies had accompanied Indonesia’s democratic reforms. President Sukarnoputri’s economic team is feverishly drafting new laws to clarify investment rules. But it could take years for the lethargic Parliament to act. “We have 60 laws waiting in Parliament,” complains economy minister Dorojatun. “Without these laws, I can’t publish policies.”

Until Indonesia sets up a real commercial legal system, it likely won’t regain its allure for investors. Thus economists don’t see Indonesia’s economy – now growing at about half its pre-crisis level – taking off anytime soon. Struggles in such places as East Kalimantan are closely watched. Rio Tinto also owns 40% of the Freeport McMoRan gold mine in West Papua; the Jakarta court froze that asset as well. Graefe warns Rio Tinto will reconsider future investments if it loses the coal case. Meanwhile, BP has invested $6 billion in Indonesia’s oil and gas industry and plans a $2 billion natural gas project. If provincial bureaucrats think such projects are up for grabs, there soon may be little to grab at all.

October 26, 2007 at 5:56 pm Leave a comment

Tussle over Kaltim Prima shares

The provincial government of East Kalimantan is attempting to get control of Indonesia’s biggest coal mining operation, the Kaltim Prima coal mine at Sangatta.

The mine is currently owned by UK-based companies Rio Tinto and BP-Amoco with 50% each. Under the terms of its contract, Kaltim Prima is obliged to divest 51% of shares in the company in stages between the fifth and tenth year of commercial production, which began in 1992.

The provincial administration has offered to buy the 30% share-holding currently available, as long as it can buy the remaining 21% in the future. Last year Indonesia’s PT Timah withdrew from share-bidding as it considered the price too high. The bid reflects the new-found muscle of regional authorities, but no improvement in decision-making processes – local communities affected by the mine’s social and environmental impacts have not been consulted.

The news has not been well received by Rio Tinto, whose president in Indonesia, Noke Kiroyan, has advised the government against agreeing to the request, saying it would violate the company’s Contract of Work. Ministry of mines and energy secretary general, Djoko Darmono, said the government was studying the offer, but would require information which showed that East Kalimantan could afford US$175 million for a 30% share in the company. 51% would cost around $300 million, he said. The ministry also wanted details of how the local authority would plan for the future of the company.

The mine, which excavates 15 million tonnes of coal per year and moves 300 million tonnes of earth in the process, is one of the world’s lowest cost coal producers. Kaltim Prima has been involved in disputes with local people over land and pollution – it is also located on the edge of the Kutai Nation Park. In 1996 workers at the mine went on strike for better pay as their wages, paid in Rupiah, plunged in value (see DTE 36, Feb,1998).

(Source: Jakarta Post 24/Jan/2000; Mining Magazine, Oct/99)

October 26, 2007 at 5:53 pm Leave a comment

BP’s coal interest: Kaltim Prima

Down to Earth No. 52, February 2002

BP’s coal interest: Kaltim Prima

BP currently joint owns and manages Indonesia’s biggest coal mine. It has 50% of the shares in PT Kaltim Prima Coal (KPC), a massive open cast mine near Sangatta, East Kutai district, East Kalimantan province. The Anglo-Australian mining giant, Rio Tinto, owns the other 50%. KPC is currently embroiled in a power struggle with the local authorities as, under the initial agreement, this foreign-owned company must sell off 51% of its shares to Indonesian parties [1]. Tension has been rising since regional autonomy legislation came into force in January 2001. It is the provincial government rather than East Kutai district authorities which is flexing its muscles. East Kalimantan is determined to get its hands on KPC’s lucrative operations. If the deal goes through, it will be the first time that a regional administration is involved in running a large-scale mining business in Indonesia. KPC claims the local authority’s aggressive attitude is making foreign investors wary about future involvement in Indonesia.

In October 2001, the East Kalimantan provincial government started legal action against KPC, its shareholders, some of its directors and legal advisers in South Jakarta district court for failure to divest its shares [2]. The local authority is seeking US$772 million damages, $4m legal costs and seizure of company assets. Rio Tinto has threatened to pull out of PT KPC completely if the court rules in favour of the East Kalimantan government [3]. This is not the local government’s first move against KPC. Earlier last year, the provincial council set up a special team to oversee the divestment process of the giant coal mining company and to investigate the alleged manipulation of export data [4]. This sent a report to the Attorney General’s office and the National Police headquarters in July 2001 alleging corruption [5]. According to KPC, commercial production began in 1992, while local government claimed the company was exporting coal by 1987.

Central and local government and KPC have been engaged in a two-year dispute over the proportion of shares to be divested. KPC was originally required to divest 30 per cent of its shares gradually, but no deals were struck. The state-owned mining company PT Timah showed some interest, but pulled out in 1999 as the price was too high. Under a new agreement KPC had to sell 51% of its shares to Indonesian owners by 2002. The East Kalimantan authorities are keen to acquire a majority shareholding, but KPC does not want to lose control to a single investor.

It is not hard to see why. This is one of the world’s largest coal mining companies with an output of around 15 million tonnes per year and reserves estimated to last for another 20 years [6]. The KPC concession contains around half the 4.41 trillion tonnes total proven coal reserves in East Kalimantan [7]. The coal is high quality and, despite strikes in 2000 and 2001, labour costs are relatively low. Government revenues of over US$300,000 a day (derived from 13.5 per cent royalty on coal sales and 35 per cent income tax [8]) on a daily output of over 50,000 metric tonnes of high quality coal give some idea of what the mine is worth. From January 2001, most of these revenues (80%) go to the local government instead of to Jakarta. Under current rules for revenue sharing, the provincial government only gets one quarter of the local government’s share; the rest goes to district level. The coal is marketed as Prima or Pinang coal. Most is exported, but its destination is not clear. According to one source, the company exports all its product to destinations in Japan and Scandinavia [9]. Another states that KPC supplies coal to PT Freeport Indonesia in West Papua [10]. Yet another claims most of KPC’s production is for export, mainly to power plants and steel mills in Taiwan, South Korea and Japan under long-term contracts [11]. Around 21% of sales are said to be to Europe and the USA [12]. KPC has its own deep water port on the East Kalimantan coast. The mine employs over 6,400 workers – 2,600 employees and the rest via subcontractors [13]. Rio Tinto alone is said to have invested US$450 million in the site [14].

Negotiations reached deadlock in mid-2001 over the valuation of the shares. Investment analysts Salomon Smith Barney, appointed by KPC, valued the company at over US$800 million, whereas the local government estimates the total value at US$600million [15]. KPC insists that only the company and central government have the right to determine share prices and will not negotiate with local officials, but Jakarta has been reluctant to take a stand. The provincial authorities tried to force KPC’s hand by threatening to demand that Jakarta terminates the company’s contract unless it reduces the share valuation [16]. The deadline for agreement on share price has been extended until March 31st 2002 [17]. Meanwhile, the Ministry of Energy and Mineral Resources has offered to pay an independent agency US$500,000 to appraise the value the stake [18]. Bahana Securities has yet to start the work, although the March deadline is fast approaching [19]. The East Kalimantan government does not want an independent valuation [20].

Although East Kalimantan is a rich province, US$450 million is a lot of money to raise for the 51% share. The local government has apparently chosen a private investor to finance the acquisition: the Jakarta-based company, PT Intan Bumi Inti Pradana [21], but this may – in turn – be raising money from other companies. David Salim, nephew of Salim Group founder Liem Sioe Liong, owner of the bankrupt bank BCA, is said to be involved in the deal [22]. Other reports have mentioned PT Melati Setya Bhakti, a company owned by the provincial administration [23,24], and Tomy Winata of the Artha Graha group [25]. George Soros’ company, Batavia Investment [26] (co-owned with Surabaya businessman Harry Tanoesodibjo) was said to be backed by a financial syndicate including Bank of America Global Equity Investment, Zurich Insurance and the Ziff family [27] although, under the terms of the divestment agreement, no foreign investors are allowed to buy into the company [28]. Questions are already being asked about why the administration preferred a private company to bank financing and why the deal was not put out to open tender [29,30] . The East Kalimantan authorities have not released any information about the financing or who is behind the company. According to one report, the local government would get 10 per cent of the stake for free. Two sons of top East Kalimantan administration officials are believed to work at PT Intan [31].

A series of strikes and compensation disputes with local landowners cut KPC’s output in 2000 and 2001. Compensation claims are still outstanding for 7273.5 hectares of land in and around the mine site [32]. KPC agreed to pay around Rp 10 billion (US$1 million) to end a land dispute with villagers from Bengalon [33] in February 2001, but refused to meet the demands of 600 other farmers for Rp 3.3 billion to cover more than 3,000 ha of their land taken for mining activity [34]. The company insisted that it had paid adequate compensation and blamed manipulation involving insiders. Farmers from Kabojaya village near Sangatta have protested to the East Kutai district over pollution from KPC. The villagers say that waste from the mine made it impossible to grow crops. They also could no longer use the water from the Sungai Murung river for daily activities like cooking, bath or washing. The people demanded compensation of around Rp 1 billion, but KPC have offered an irrigation facility worth Rp 700 million instead [35]. KPC have hired an Indonesian subsidiary of the European company Group 4 to provide security for its operations since August 2000 [36]. This has also been the cause of protests as local people feared losing their jobs to outsiders [37].

KPC has tried to get on the right side of the local authorities by committing US$1.5 million a year to community development projects in East Kutai district [38]. This has funded Sangatta high school, a micro credit scheme, a health programme and agricultural projects.

The authorities are reluctant to impose controls on KPC’s operations and do all they can to prevent stoppages because of KPC’s impact on the local economy. Thousands of workers living in or around the town of Sangatta depend directly or indirectly on the mine for jobs. Most of the local population comprises settlers from other parts of Kalimantan, Sulawesi and Java.

NOTES
The contract of work for PT KPC was signed on July 30, 1982 for a period of 30 years. This originally covered 790,900 hectares in Sangatta, East Kutai District, East Kalimantan. Construction began in 1989 at a cost of $570 million and full commercial production commenced in 1992 [39].

Sumber:
JP = Jakarta Post, K = Kompas, BI = Bisnis Indonesia, AFR = Australian Financial Review; SP = Suara Pembaruan; FEER = Far Eastern Economic Review.

1. JP 7/Apr/01
2. JP 17/Oct/01
3. Petromindo 17/Oct/01 via Joyo news service 23/Jan/02
4. Petromindo 19/May/01
5. Petromindo 11/Jul/01
6. AFR 15/Jun/01
7. Petromindo 16/Aug/01
8. AFR 30/Jun/00
9. Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory 1999/2000
10. JP 6/Jul/00
11. Reuters 24/Nov/01
12. Dow Jones 10/Jul/00
13. Ketenagakerjaan Perusahaan Pertambangan Batubara, 2000 Direktorat Batubara, Jakarta via Joyo news service 23/Jan/02
14. Petromindo 29/Aug/01
15. Petromindo 25/Jul/01
16. Petromindo 6/Sept/01
17. JP 8/Dec/01
18. via Joyo news service 23/Jan/02
19. Petromindo 17/Jul/01
20. JP 16/May/01
21. Petromindo 3/Sept/01 & FEER 15/Nov/01
22. Tempo 5/Jun/01
23. SP 12/Jan/01
24. BI cited in Petromindo 29/Aug/01
25. Tempo 5/Jun/01
26. Kaltim Post (undated) via JATAM Jan 2002
27. K 14/Ap/01
28. JP 3/Sept/01
29. JP 5/Dec/01
30. Petromindo 11/Ap/01
31. Petromindo 5/May/01
32. Petromindo 12/Feb/01
33. Petromindo 3/May/01
34. Petromindo 9/May/01
35. Petromindo 17/Jul/01
36. Petromindo 2/Aug/01
37. Petromindo 30/Jun/01
38. Indonesian Minerals Exploration & Mining Directory 1999/2000 Edition.
39. Asian Journal of Mining. Gold Group Operations Pty. pp 152-154

October 26, 2007 at 5:50 pm Leave a comment

Newer Posts


May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031